Senin, Oktober 08, 2012

Kota Rusa, Berpesta !!


Hari itu Kamis, 10 Februari 2009, pukul 13.00 WIT, biasanya aku selalu menyisihkan waktuku dengan duduk di taman rumah, menikmati angin yang bertiup menyejukkan dan ditemani oleh kucing putihku, Akamaru. Namun.. tidak untuk kali ini. Saat itu cuaca sedang panas, Jalan Raya Mandala, Jalan utama di Kota Rusa, Kota kelahiranku, Merauke, sedang dikerumuni oleh penduduk yang menanti di pinggir jalan. Bukan, kami bukan sedang menunggu taksi atau apa, hanya saja untuk hari itu, Jalan Raya Mandala sedang berpesta. Ya, sebuah pesta rakyat yang selalu dirayakan menjelang tanggal 12 februari, sebuah tanggal yang istimewa bagi kami, karena merayakan hari jadi Kota tercinta ini, Merauke.


Suara bergerumuh dari Drum Band yang sejak tadi kami dengar benar-benar menggelegar, membuat setiap orang melihatnya kagum, Oh, aku bisa melihat ekspresi itu dengan jelas di wajah setiap orang saat aku menerawang mereka. Banyak dari penduduk berdiri menggunakan payung berwarna-warni, menghadang panas yang semakin intens, mencoba menikmati pesta pembukaan yang dinamakan Pawai Budaya itu.
Disini, semua orang ikut andil dalam perayaan Pawai Budaya. Tidak hanya sekolah-sekolah dan universitas saja, bahkan organisasi etnis dan Instansi pemerintahan juga turut serta disini. Alhasil, semua kegiatan belajar dan perkantoran dipulangkan lebih awal. Wah, benar-benar sebuah pesta yang mengasyikkan ya. Di salah satu mobil dalam barisan sekolah, orator berpesan bahwa kota ini milik bersama, bukan hanya milik penduduk asli Merauke, tetapi semua warga yang telah menganggap Merauke sebagai “rumah” mereka. Sebuah pernyataan yang tidak mengada-ada, karena aku pun yang bukan orang asli Papua merasakan hal yang demikian.
Saat barisan sekolah-sekolah melewati kami, mata saya tertuju pada penampilan penari SMP Yos Sudarso yang membawakan suatu tarian. Ah, aku tahu, itu tari Yospan! Spontanku dalam hati. Yospan merupakan tarian adat tradisional Papua dan merupakan tarian yang melambangkan persahabatan. Tari Yospan sendiri terdiri dari dua kata yaitu kata Yosim Pancar alias harmonisasi dari dua tarian rakyat Papua, Yosim dan Pancar. Sebenarnya dalam tari Yospan terdapat dua regu, yaitu regu penari dan regu musik, namun, disini aku tidak mendapati adanya regu music melainkan musik dihasilkan dari rekaman kaset, yah mungkin untuk segi kepraktisan.
Regu penari terdiri dari 6-8 pasang laki-laki dan perempuan dan masing-masing memakai kostum yang sangat kental dengan papua. Yang perempuan mengenakan atasan berwarna kuning dan rok coklat yang berenda kuning diujungnya serta berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Mereka juga menggunakan kalung serta ikat kepala dengan satu bulu yang saya kira bulu cendrawasih ditengahnya. Sedangkan para pemuda mengenakan sebuah kain berwarna coklat yang memiliki satu ukiran yang unik yang melingkar di sekitar pinggang mereka dan tanpa mengenakan baju. Mereka juga mengenakan suatu ikat kepala yang memiliki sesuatu seperti ijuk yang mengitari sisi depan kepala. Selain pakaian yang unik, terdapat juga coretan-coretan yang membentuk pola unik di sekitar wajah, tangan dan kaki mereka. Biasanya kostum tari Yospan berbeda-beda, tergantung kreatifitas dan daerah di Papua.
Pada saat ada jeda berhenti, mereka melakukan aksinya. Mereka menari mengikuti irama, saling bergandengan tangan yang melambangkan persahabatan, sesekali mereka menari berputar, menghadap pasangannya, membuat para penonton hanya memusatkan perhatian kepada mereka. They are the Spotlight.
Selanjutnya saat barisan kelompok etnis Suku Marind yang merupakan salah satu suku asli Merauke melewati kami, terdengar suara teriakan serta bunyi dentuman yang jelas terasa. Oh, suara itu ternyata berasal dari kelompok penari laki-laki. Mereka sedang membawakan tarian perang lengkap dengan kostum tradisional yang berupa rok yang terbuat dari akar-akar, kalung bermanik, hiasan kepala serta coretan-coretan yang membentuk pola unik di sekitar wajah, lengan, kaki dan dada mereka. Tak sedikit juga dari mereka menggunakan koteka, yaitu penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa suku bangsa di Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air yang sebelumnya telah dikeringkan. Bagi pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir berwarna-warni. Seorang pria berwibawa dan gagah biasanya mengenakan koteka sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah yang tajam ke alam bebas.
Sambil mengacungkan anak panah dan busur ke udara, mereka berteriak dalam irama tertentu, seperti sebuah nyanyian yang aku tidak tahu apa artinya.  Sesekali seorang penari mendekati anak kecil di sekitar pinggiran jalan yang sontak membuat bocah-bocah itu menangis ketakutan! Hahaa tega sekali pikirku. Selain menari, ada dua orang diantara para penari yang memainkan tifa, alat tradisional khas Papua yang terbuat dari kayu yang telah dilubangi dan salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit rusa yang sebelumnya telah dikeringkan. Tarian perang sering digunakan apabila ada upacara-upacara adat tertentu. Karena itu kami hanya menemukan tarian itu disini.
Selain kebudayaan asli Papua, dalam pawai ini saya juga menikmati kreatifitas kelompok etnis lainnya, mulai dari Aceh, Padang, Jawa, Sulawesi hingga Papua itu sendiri, bahkan aku juga bisa menikmati Barongsai tanpa harus menunggu Imlek datang. Benar-benar pengalaman tahunan yang menyenangkan! Aku berharap, Pawai ini tidak pernah absen tiap tahunnya, bukan hanya sebagai hiburan, tapi disini aku mungkin beberapa tahun mendatang bisa mengajarkan si buah hati akan kebudayaan Indonesia yang beragam, khususnya Papua. Mengajarkan kita harus berbangga menjadi Indonesia.
“Endah, ayo pulang. Udah sore nih.”
Aku merasakan tangan Awi, temanku, menyentuh bahuku lembut dan berhasil membawaku kembali dari lamunan. Aku masih melihat ratusan punggung orang-orang dalam barisan sepeda hias yang merupakan kelompok terakhir dalam rangkaian Pawai Budaya bergerak semakin jauh meninggalkan tempatku berdiri. Aku tersenyum, Tahun ini ternyata pawainya gak kalah seru!
“Yuk!” ajakku akhirnya setelah beberapa menit. “Jangan lupa besok kita ke pasar malam, dan tengah malamnya nonton kembang api!” tambahku bersemangat.

Endah jingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages