Hari itu Kamis, 10 Februari 2009, pukul 13.00 WIT, biasanya
aku selalu menyisihkan waktuku dengan duduk di taman rumah, menikmati angin
yang bertiup menyejukkan dan ditemani oleh kucing putihku, Akamaru. Namun..
tidak untuk kali ini. Saat itu cuaca sedang panas, Jalan Raya Mandala, Jalan
utama di Kota Rusa, Kota kelahiranku, Merauke, sedang dikerumuni oleh penduduk
yang menanti di pinggir jalan. Bukan, kami bukan sedang menunggu taksi atau
apa, hanya saja untuk hari itu, Jalan Raya Mandala sedang berpesta. Ya, sebuah
pesta rakyat yang selalu dirayakan menjelang tanggal 12 februari, sebuah
tanggal yang istimewa bagi kami, karena merayakan hari jadi Kota tercinta ini,
Merauke.
Suara bergerumuh dari Drum Band yang sejak tadi kami dengar
benar-benar menggelegar, membuat setiap orang melihatnya kagum, Oh, aku bisa
melihat ekspresi itu dengan jelas di wajah setiap orang saat aku menerawang
mereka. Banyak dari penduduk berdiri menggunakan payung berwarna-warni,
menghadang panas yang semakin intens, mencoba menikmati pesta pembukaan yang
dinamakan Pawai Budaya itu.
Disini, semua orang ikut andil dalam perayaan Pawai Budaya.
Tidak hanya sekolah-sekolah dan universitas saja, bahkan organisasi etnis dan
Instansi pemerintahan juga turut serta disini. Alhasil, semua kegiatan belajar
dan perkantoran dipulangkan lebih awal. Wah, benar-benar sebuah pesta yang
mengasyikkan ya. Di salah satu mobil dalam barisan sekolah, orator berpesan
bahwa kota ini milik bersama, bukan hanya milik penduduk asli Merauke, tetapi
semua warga yang telah menganggap Merauke sebagai “rumah” mereka. Sebuah
pernyataan yang tidak mengada-ada, karena aku pun yang bukan orang asli Papua
merasakan hal yang demikian.
Saat barisan sekolah-sekolah melewati kami, mata saya
tertuju pada penampilan penari SMP Yos Sudarso yang membawakan suatu tarian.
Ah, aku tahu, itu tari Yospan! Spontanku dalam hati. Yospan merupakan tarian
adat tradisional Papua dan merupakan tarian yang melambangkan persahabatan.
Tari Yospan sendiri terdiri dari dua kata yaitu kata Yosim Pancar
alias harmonisasi dari dua tarian rakyat Papua, Yosim dan Pancar. Sebenarnya
dalam tari Yospan terdapat dua regu, yaitu regu penari dan regu musik, namun,
disini aku tidak mendapati adanya regu music melainkan musik dihasilkan dari
rekaman kaset, yah mungkin untuk segi kepraktisan.
Regu penari terdiri dari 6-8 pasang laki-laki dan
perempuan dan masing-masing memakai kostum yang sangat kental dengan papua. Yang
perempuan mengenakan atasan berwarna kuning dan rok coklat yang berenda kuning
diujungnya serta berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Mereka juga
menggunakan kalung serta ikat kepala dengan satu bulu yang saya kira bulu
cendrawasih ditengahnya. Sedangkan para pemuda mengenakan sebuah kain berwarna
coklat yang memiliki satu ukiran yang unik yang melingkar di sekitar pinggang
mereka dan tanpa mengenakan baju. Mereka juga mengenakan suatu ikat kepala yang
memiliki sesuatu seperti ijuk yang mengitari sisi depan kepala. Selain pakaian
yang unik, terdapat juga coretan-coretan yang membentuk pola unik di sekitar
wajah, tangan dan kaki mereka. Biasanya kostum tari Yospan berbeda-beda,
tergantung kreatifitas dan daerah di Papua.
Pada saat ada jeda berhenti, mereka melakukan aksinya.
Mereka menari mengikuti irama, saling bergandengan tangan yang melambangkan
persahabatan, sesekali mereka menari berputar, menghadap pasangannya, membuat
para penonton hanya memusatkan perhatian kepada mereka. They are the Spotlight.
Selanjutnya saat barisan kelompok etnis Suku Marind yang
merupakan salah satu suku asli Merauke melewati kami, terdengar suara teriakan serta
bunyi dentuman yang jelas terasa. Oh, suara itu ternyata berasal dari kelompok
penari laki-laki. Mereka sedang membawakan tarian perang lengkap dengan kostum
tradisional yang berupa rok yang terbuat dari akar-akar, kalung bermanik, hiasan
kepala serta coretan-coretan yang membentuk pola unik di sekitar wajah, lengan,
kaki dan dada mereka. Tak sedikit juga dari mereka menggunakan koteka, yaitu penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa
suku bangsa di Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air yang sebelumnya telah
dikeringkan. Bagi pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, koteka yang
digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir
berwarna-warni. Seorang pria berwibawa dan gagah biasanya mengenakan koteka
sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah yang tajam ke alam bebas.
Sambil mengacungkan anak panah dan
busur ke udara, mereka berteriak dalam irama tertentu, seperti sebuah nyanyian
yang aku tidak tahu apa artinya. Sesekali seorang penari mendekati anak kecil
di sekitar pinggiran jalan yang sontak membuat bocah-bocah itu menangis
ketakutan! Hahaa tega sekali pikirku. Selain menari, ada dua orang diantara
para penari yang memainkan tifa, alat tradisional khas Papua yang terbuat dari
kayu yang telah dilubangi dan salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit rusa
yang sebelumnya telah dikeringkan. Tarian perang sering digunakan apabila ada
upacara-upacara adat tertentu. Karena itu kami hanya menemukan tarian itu
disini.
Selain kebudayaan asli Papua, dalam
pawai ini saya juga menikmati kreatifitas kelompok etnis lainnya, mulai dari
Aceh, Padang, Jawa, Sulawesi hingga Papua itu sendiri, bahkan aku juga bisa
menikmati Barongsai tanpa harus menunggu Imlek datang. Benar-benar pengalaman
tahunan yang menyenangkan! Aku berharap, Pawai ini tidak pernah absen tiap
tahunnya, bukan hanya sebagai hiburan, tapi disini aku mungkin beberapa tahun
mendatang bisa mengajarkan si buah hati akan kebudayaan Indonesia yang beragam,
khususnya Papua. Mengajarkan kita harus berbangga menjadi Indonesia.
“Endah, ayo
pulang. Udah sore nih.”
Aku merasakan
tangan Awi, temanku, menyentuh bahuku lembut dan berhasil membawaku kembali
dari lamunan. Aku masih melihat ratusan punggung orang-orang dalam barisan
sepeda hias yang merupakan kelompok terakhir dalam rangkaian Pawai Budaya
bergerak semakin jauh meninggalkan tempatku berdiri. Aku tersenyum, Tahun ini
ternyata pawainya gak kalah seru!
“Yuk!” ajakku
akhirnya setelah beberapa menit. “Jangan lupa besok kita ke pasar malam, dan
tengah malamnya nonton kembang api!” tambahku bersemangat.
Endah jingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar